Jumat, 08 Juni 2012

Ranggong Daeng Romo (Pahlawan Nasional dari Takalar)



Penulis Naskah : Sultan Daeng Mappunna


Di tengah-tengah suasana perang melawan penjajah Belanda, lahirlah putra kesatria pejuang-pejuang bangsa dari Polongbangkeng Kabupaten Takalar. Sejarah perjuangan rakyat Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai basis Panglima LAPRIS, Ranggong Daeng Romo dan Pajonga daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng dikenal sangat gigih melawan penjajah Belanda bersama-sama para pejuang rakyat Polongbangkeng untuk merebut kembali kemerdekaan Indonesia, dengan tekad teguh “Senasib sepenanggungan berdasarkan semangat kekeluargaan “Se’re pacce se’re siri’ sipapappaccei sipassiriki.”

(Adegan Pertama):

(Ranggong daeng Romo sedang duduk sendiri di dalam rumahnya sambil memikirkan sesuatu, tak lama ia berpikir, lalu ia mengambil sesuatu yang ada di samping kanannya, yaitu sebuah badik yang terbungkus kain hitam, lalu mengeluarkan pusaka andalannya itu. Diangkatnya pusaka (badik) tersebut ke kiri dan ke kanan lalu di hantamkannya ke bawah. Entah apa yang ingin dilampiaskannya…)


(Adegan kedua) :
Bungatubu Daeng Lino (Istri Ranggong Daeng Romo)
Daeng! Sudah satu tahun ini Indonesia diproklamasikan “Merdeka”, tapi pihak penjajah Belanda, tetap saja terus menjajah Negeri kita..

Ranggong Daeng Romo :
Kita memang sudah merdeka Andi’. Hanya saja Belanda melakukan Agresi untuk kembali menjajah tanah air kita. Percayalah Andi, kemerdekaan tidak akan lama lagi menyingsing.. Tuhan akan selalu menyertai perjuangan kita Andi’..

Bungatubu Daeng Lino (Istri Ranggong Daeng Romo)
Sampai kapan peperangan ini akan berakhir Daeng..? Aku sangat takut akan situasi yang makin genting ini. Setiap detik, setiap hari, dan setiap waktu selalu ada yang mati, esok siapa lagi, Daeng..?

Ranggong Daeng Romo :
Bersabarlah Andi’, Allah Taala pasti membukakan jalan keluar untuk kita, karena kita di jalan yang benar. Percayalah Andi’, kemerdekaan itu tidak akan lama lagi “Kita pasti Merdeka.”

Bungatubu Daeng Lino (Istri Ranggong Daeng Romo)
Tapi Daeng, sudah banyak yang menjadi korban kebiadabannya. Aku sangat takut Daeng…!!

Ranggong Daeng Romo :
Andi’ dalam situasi bagaimanapun gawatnya, do’a dan shalat lima waktu jangan pernah kau tinggalkan, sebab itu merupakan kekuatan maha dahsyat untuk memukul mundur lawan kita. Kalaupun mati namanya mati sahid..
(tiba-tiba pasukan Ranggong daeng Romo datang membawa kabar).

Makkatang daeng Sibali :
Assalamu Alaukum Daeng…!! (serentak memberi salam, lalu dipersilahkan masuk) Daeng! Kini Kekuasaan militer Jepang telah jatuh di tangan Belanda. Agresi Belanda kedua di Bumi Pertiwi ini, pastinya akan lebih kejam lagi. Apa yang harus kita lakukan Daeng?

Ranggong daeng Romo :
Baik, kita harus mulai menyusun kekuatan, mempersiapkan segala sesuatunya untuk memasuki medan pertempuran melawan penjajah Belanda sekarang ini.

Bata’ (Bapak Basse):
Tapi kekuatan kita masih sedikit, Daeng! Para pemuda-pemuda yang berjiwa patriot, hanya orang-orang terdekat kita. Sebagian lainnya malah sudah meninggalkan Polongbangkeng.

Mulyati :
Bahkan ada di antaranya sudah memihak kepada Belanda. Dan sisanya, lebih memilih ditindas, terjajah, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan para penjajah. Asalkan, mereka dibiarkan hidup, meski mereka menderita.
(Mappa Daeng Temba memotong pembicaraan, karena semangat perjuangannya yang berkobar).

Mappa Daeng Temba :
Biadab…!! Ini tidak bisa dibiarkan lagi, daeng…!!!

Ranggong Daeng Romo :
Tenangkan dirimu daeng Ngitung! Menghadapi situasi yang gawat tak perlu dilakukan secara emosional, tetapi perlu ketenangan berpikir untuk menyusun strategi.

Bata’ (Bapak Basse):
Kita memang sudah merdeka, tapi para penjajah masih belum juga mau keluar dari tanah air kita. Kita mesti berbuat. Ini tidak bisa dibiarkan, Daeng!

Ranggong Daeng Romo :
Baik, besok saya akan menemui Kareang PolongBangkeng Pajonga daeng Ngalle untuk memperoleh petunjuk mengenai bagaimana sikap menghadapi situasi yang makin kritis ini. Sekarang Pulanglah…!!
Tabe Daeng…!! (Para pejuang)
(serentak berdiri dan berpamitan pergi)
#####


(Adegan Ketiga)

(Dalam suasana yang menegangkan, Ranggong Daeng Romo datang menghadap ke Karaeng Polongbangkeng Pajongan Daeng Ngalle).

Ranggong Daeng Romo
Assalamu Alaikum..!!

Pajonga Daeng Ngalle (Karaeng Polongbangkeng) :
Silahkan masuk wahai sekalian putra satria!! (mempersilahkan duduk)
Kedatangan kalian menyiratkan hal yang amat kritis. Apa yang terjadi?

Ranggong Daeng Romo :
Karaeng! Kekuasaan militer Jepang telah jatuh di tangan Belanda. Ini berarti, Agresi Belanda kedua di Bumi Pertiwi ini, pastinya akan lebih kejam lagi. Kita harus bertindak Karaeng, sebelum mereka menindas kita lagi..!

Pajonga Daeng Ngalle (Karaeng Polongbangkeng) :
Baik, kau Daeng Ngitung bersama Mappa Daeng Temba, adakan perjalanan keliling dan sampaikan kepada seluruh masyarakat Polongbangkeng, bahwa Agresi Belanda kedua di Bumi Pertiwi ini telah kembali untuk menjajah bangsa kita dan mungkin lebih kejam lagi. Dan galang seluruh putra satria untuk bersatu padu menghadapi segala kemungkinan, dengan tekad ; ”Belanda harus lenyap dari Bumi Pertiwi kita” Senasib sepenanggungan berdasarkan semangat kekeluargaan “Se’re pacce se’re siri’ sipapappaccei sipassiriki.”

Ranggong Daeng Romo :
Tapi Karaeng, kita juga perlu senjata untuk melawan mereka..!

Pajonga Daeng Ngalle (Karaeng Polongbangkeng):
Baik, Kau Ranggong Daeng Romo, pimpin pasukan LAPRIS dan LIPAN BAJENG, hadang setiap pasukan penjajah yang melintas disetiap kampung, lalu rebut persenjataan dan perlengkapan militer mereka. Saat itu, kita akan melakukan penyerangan besar-besaran.

Ranggong Daeng Romo :
Baik Karaeng.. Kita harus bersatu, mempertahankan kemerdekaan ini, hingga titik darah penghabisan. Diam kita tertindas atau melawan merebut kemerdekaan.

Pajonga Daeng Ngalle (Karaeng Polongbangkeng):
Dan ingat, tanamkan dalam diri pasukanmu bahwa budaya kita adalah budaya siri’ na pacce tak kenal menyerah kepada siapapun yang menginjak-injak hak asasi manusia. Kita harus merebut kembali kemerdekaan ini.

Ranggong Daeng Romo :
Baik karaeng…!!

Pajonga daeng Ngalle :
Sekarang berangkatlah!

Ranggong Daeng Romo :
Baik Karaeng, tabe karaeng..!
#####


(Adegan Keempat)

Setelah merebut persenjataan penjajah Belanda, Ranggong daeng Romo kemudian merasakan sesuatu hal yang akan mengancam keluarganya. Hingga akhirnya, Ia menyuruh Istri tercintanya untuk pergi dan tinggal di rumah orang tuanya sampai keadaan aman..

Ranggong Daeng Romo :
Andi’ku daeng Lino, situasi sekarang sangat genting. Agresi Belanda kedua memaksa saya untuk meneruskan perjuangan ini. Andi’ pasti mengerti maksudku..!

Bungatubu Daeng Lino (Istri Ranggong Daeng Romo)
Tapi Daeng, aku sangat khawatir ketika daeng tidak di sampingku. Sebagai istrimu, aku selalu ingin mendampingimu, apapun yang terjadi…

Ranggong Daeng Romo :
Iye Andi’, tapi untuk sekarang ini, kau tidak aman di sampingku. Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu. Kuharap Andi’ bisa mengerti..!

Bungatubu Daeng Lino (Istri Ranggong Daeng Romo)
Baiklah daeng, meskipun aku tidak merelakanmu pergi daeng pasti akan tetap pergi. Semoga Karaeng Malompoa tetap dalam perlindungan daeng…
(kemudian Ranggong daeng Romo pun beranjak dari pembicaraannya dengan istrinya untuk segera pergi. Namun sebelum Ranggong daeng Romo berpamitan pergi, tiba-tiba salah seorang anak buah Ranggong Daeng Romo datang tergesa-gesa seperti dikejar setan)

Bata (Bapak Basse) :
Daeng… Oo.. Daeng..!!

Ranggong Daeng Romo :
Siapa itu?

Bata (Bapak Basse) :
Saya daeng, Bata Bapak Basse !
(Kemudian mempersilahkan masuk)

Ranggong Daeng Romo :
Masuklah! Ada apa, kau tergesa-gesa begitu?

Bata (Bapak Basse) :
Emmy Saelan, Daeng.. Emmy Saelan Daeng Kebo..
(berbicara dengan sangat tergesa-gesa dan ketakutan)

Ranggong Daeng Romo :
Kenapa dengan Emmy Saelan Daeng Kebo?

Bata (Bapak Basse) :
Emmy Saelan dikepung di Kassi di daerah Gowa, di tempat persembunyiannya. Dan Ia telah gugur sebagai Bunga Bangsa. Ia memilih mati daripada menyerah, sambil melemparkan granat yang ada di tangannya ke arah musuh, hingga menewaskan beberapa orang tentara Belanda termasuk dirinya Daeng..

Ranggong Daeng Romo :
Inna Lillahi Wa Inna Illahi Radjiun.. Emmy Saelan Daeng kebo adalah seorang srikandi pemberani asal Madura. Ia diberi nama dg. Kebo karena kulitnya yang putih. Meski ia perempuan, akan tetapi ia memiliki keberanian layaknya seorang pria sejati. Siri’ na Pacce telah mendarah daging dalam tubuhnya.

Bata (Bapak Basse) :
Tindakan apa yang harus kita lakukan, Daeng? Kita harus membalas mereka...!!

Ranggong Daeng Romo :
Baik, mari kita kumpulkan seluruh pejuang di markas, untuk mengadakan pertemuan guna menyusun strategi membalas serangan penjajah Belanda. Sekarang kau ikutlah denganku..!!
(Ranggong daeng Romo pun segera pergi meninggalkan istri tercintanya)

Di tengah perjalanannya menuju ke markas, Ranggong daeng Romo bersama anak buahnya bertemu dengan pasukan Belanda, hingga terjadi pertempuran hebat.

Pasukan Belanda :
Angkat tangan…!! (dengan nada menggertak)
(lalu dari belakang muncul komandan Belanda)

Croot Mayoor Berlin(Komandan Belanda) :
Emmy Saelan telah aku bunuh. Sekarang giliranmu..! Dan karena kau Ranggong, aku belum juga dapat menguasai daerah jajahanku, tapi hari ini kalian semua akan mati dan aku akan sangat menikmatinya.

Ranggong Daeng Romo :
Perlu kau tahu, kalian para penjajah, bahwa bangsa Indonesia sudah tidak sudi lagi untuk dijajah oleh anjing seperti kalian. Pengorbanan para pejuang yang telah gugur dan pengorbanan kami semua, kalau sampai waktunya tidak akan sia-sia, “Indonesia pasti merdeka..”

Croot Mayoor Berlin(Komandan Belanda) :
Bagaimana mungkin Indonesia “merdeka”, setelah kematianmu, aku akan lebih mudah menguasai kembali Negeri ini.. Tidak akan ada lagi yang jadi pahlawan..

Ranggong Daeng Romo :
(Mengeluarkan badiknya tetapi dipegang oleh Bata’ namun si Bata’ terlempar dari pegangannya memegang Ranggong daeng Romo).
Lappassamma Andi, narapi minne pammoli’na Allah Taala ri nakke. Kau mundurlah biar aku yang melawan mereka. “Pattulusi perjuanganga”.
(Ranggong daeng Romo berpesan pada anak buahnya)
(akan tetapi perintah itu tidak ditaatinya)

Bata (Bapak Basse) :
Tidak… Daeng, saya tidak akan mundur barang setapakpun dan tidak akan meninggalkanmu, dan saya bersumpah… kalau Daengku mati membujur ke Timur, maka saya akan mati membujur ke Barat.

Croot Mayoor Berlin(Komandan Belanda) :
(Tertawa) Lucu sekali kalian. Kalian pikir aku akan membiarkan salah satu dari kalian meloloskan diri, itu tidak akan aku biarkan. Bunuh (tembak) mereka..!!
(Memerintahkan pasukannya menembak).
(Kemudian Ranggong daeng Romo bersama Bata’ maju dan mengamuk dan berhasil menikam salah satu pasukan Belanda hingga tewas, tapi sayang, peluru juga sudah bersarang di pahanya dan ia pun terjatuh tak mampu berdiri lagi.

Croot Mayoor Berlin(Komandan Belanda) :
Tamatlah riwayatmu Ranggong…

Ranggong Daeng Romo :
Riwayatku ditangan Karaengku bukan ditanganmu…
(Komandan Belanda berjalan mendekati Ranggong daeng Romo yang sedang terluka, lalu meletakkan sebuah pistol di kepala Ranggong daeng Romo dan iapun tewas).

Croot Mayoor Berlin(Komandan Belanda) :
Lihatlah, ternyata Karaengmu tidak bisa berbuat apa-apa…
Peluru pun termuntahkan dari sarangnya, hingga menewaskan Ranggong Daeng Romo dan anak buahnya.
(Setelah Ranggong Daeng Romo tewas, pihak penjajah pun pergi seperti badai yang hanya numpang lewat menghancurkan segala yang ada di hadapannya, lalu tertawa terbahak-bahak).
#####


(Adegan kelima)

Dalam suasana berkabung, datanglah seorang pejuang menghadap membawa kabar buruk..

Mulyati :
Karaeng...., Robert Wolter Monginsidi telah tertangkap oleh tentara Belanda dan menolak untuk minta ampun kepada Belanda dalam pengadilan kolonial, dan akhirnya ia dihukum tembak oleh penjajah Belanda. Dan saya mendapatkan ini (kertas) dalam saku celananya.
(Pajonga Daeng Ngalle mengambil kertas itu lalu dibacanya)

Karaeng Polongbangkeng Pajonga Daeng Ngalle
“Setia hingga akhir dalam keyakinan” (Tulisan pada kertas tersebut) Gugurnya tiga orang tokoh yang paling ditakuti oleh Belanda yakni Emmy Saelan, Robert Wolter Monginsidi, dan Panglima kita Ranggong Daeng Romo, merupakan kenangan pahit bagi seluruh rakyat di Sulawesi Selatan, terutama para pejuang di Polongbangkeng.

Mappa daeng Temba :
Assalamu Alaikum Karaeng… lihat karaeng, saya sudah mendapatkan hasil rampasan dari pasukan Belanda, persenjataan dan perlengkapan militer mereka. Kita sudah bisa memulai menyusun strategi untuk melawan mereka, karaeng! (Merasa tak dihiraukan, Ia bingung tak mendapat respon dari Karaeng dan orang-orangnya).
Kenapa kalian semua diam, Ada apa ini? Aku sudah membawa hasil rampasan kita. Mari kita melawan mereka!

Mulyati :
Ranggong Daeng Romo, Daeng Temba. Dia sudah tidak ada lagi. Dia telah gugur sebagai Kusuma Bangsa dan kita sekarang tidak punya pemimpin..

Mappa daeng Temba :
Jangan bercanda kalian.. kemarin, aku bersama Panglima Ranggong Daeng Romo melakukan aksi rampasan ini. Mana mungkin Panglima tewas? Ini tidak mungkin..
(Kemudian sejenak suasana dalam rumah tersebut jadi hening meratapi kesedihan kehilangan seorang pemimpin.)

Karaeng Polongbangkeng Pajonga Daeng Ngalle
Mereka memang telah tiada, tapi nama mereka akan selalu dikenang oleh masyarakat Polongbangkeng. Satu kali lahir satu kali mati telah menjadi bukti perkataannya.. Kita harus meneruskan perjuangan yang belum selesai ini. Ingat pesan panglima kita Ranggong Daeng Romo “Pattulusi Perjuanganga”. Itulah pesan terakhir dari beliau. Sebab mati hanya sebuah konsekuensi bukan berarti semangat ikut terkubur. Patah tumbuh hilang berganti. Se’re pacce se’re siri sipapappaccei sipassiriki…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar